Perkembangan Perbankan di Indonesia
Sejarah perbankan di Indonesia tidak
terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De
javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian
menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918
sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke
luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di
Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:
1.De Javasce NV
2.De Post Poar Bank
3.Hulp en Spaar Bank
4.De Algemenevolks Crediet Bank
5.Nederland Handles Maatscappi (NHM)
6.Nationale Handles Bank (NHB)
7.De Escompto Bank NV
8.Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang
Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa.
Bank-bank tersebut antara lain :
1.NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
2.Bank Nasional Indonesia
3.Bank Abuan Saudagar
4.NV Bank Boemi
5.The Chartered Bank of India, Australia and China
6.Hongkong & Shanghai Banking Corporation
7.The Yokohama Species Bank
8.The Matsui Bank
9.The Bank of China
10.Batavia Bank
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju
dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah
Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain :
1.NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini
Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung.
2.Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946
yang sekarang dikenal dengan BNI ’46.
3.Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari
1946. Bank ini berasal dari De
Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin
Ginko.
4.Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di
Solo.
5.Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
6.Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
7.Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta,
kemudian menjadi Bank Amerta.
8.NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
9.Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian
merger dengan Bank Pasifik.
10.Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank
Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Dari waktu ke waktu kondisi dunia
perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Selain disebabkan oleh
perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian,
politik, hukum, dan sosial. Perkembangan faktor internal dan external tersebut
menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia dapat dikelompokan dalam 4 periode. Masing-masing periode mempunyai ciri khusus
yang tidak dapat disamakan dengan periode lainnya. Deregulasi di sektor riil
dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an serta terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia sejak akhir tahun 1990-an adalah dua peristiwa utama yang telah
menyebabkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia sampai
dengan tahun 2000.
Keempat
periode itu adalah :
1. Kondisi perbankan di Indonesia pada masa orde baru (1980 – 1998)
1. Kondisi perbankan di Indonesia pada masa orde baru (1980 – 1998)
2. Kondisi perbankan di Indonesia pada masa krisis (1997 –
1998)
3. Kondisi perbankan di Indoneisa pasca krisis
Perekonomian Indonesia masih
mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan
perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan
hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi
perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat,
dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
1.
Orde Baru
(1980 – 1998)
Pada 1983, tahap awal deregulasi
perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku
bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit
tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972.
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972.
Memasuki tahun 1990-an, BI
mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang
mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU
Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam
klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. Berdasarkan Undang-undang No.
7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup
kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan
jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat
kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya.
Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian
bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari
1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang
memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan
internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Namun sekarang kondisi perbankan di
Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa.
Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan
tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman
D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan
likuiditas sudah berkurang.
Pada masa itu muli bermunculan bank baru, dan dalam
mendirrikan bank terdapat aturan yang harus ditaati diantarnya aturan pendirian
bank :
a. Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu izin.
b. Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain. Paket 28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
c. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
- CAR (Capital Adequacy Ratio)
- Batas Maksimum Pemberian Kredit
- Kredit Usaha Kecil
- Pembentukan cadangan piutang
- Loan to Deposit Ratio
a. Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu izin.
b. Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain. Paket 28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
c. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
- CAR (Capital Adequacy Ratio)
- Batas Maksimum Pemberian Kredit
- Kredit Usaha Kecil
- Pembentukan cadangan piutang
- Loan to Deposit Ratio
Pada periode 1992-1993, perbankan
nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang
menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk
melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani
kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan,
Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua
Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab
keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya
ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan
mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993
yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam
Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming
economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya
tarik bagi investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan
kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang
dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter.
Kredit perbankan dalam jumlah besar
mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah
berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat. Nilai
kurs sejak tahun 1990 – 1997. Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli
1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs
antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan
kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996.
kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai
kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00.
Namun dalam minggu kedua Juli 1977
gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari
jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas
bata-batas kurs intervensi. Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi,
pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi
sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan
sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat
mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak
langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.
Dikeluarkannya paket deregulasi 27
Oktober 1988 (Pakto 88), antara lain berupa relaksasi ketentuan permodalan untuk
pendirian bank baru telah menyebabkan munculnya sejumlah bank umum berskala
kecil dan menengah. Pada akhirnya, jumlah bank umum di Indonesia membengkak
dari 111 bank pada Oktober 1988 menjadi 240 bank pada tahun 1994‐1995, sementara jumlah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) meningkat drastis dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.310 BPR
pada tahun 1996.
Fungsi utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai
dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu :
a.
Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiaya kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
b.
Memberikan
jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
c.
Mengadministrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
d. Menyalurkan dana anggaran untuk
membiayai program dan proyek pada sektor-sektor yang ingin dikembangkan oleh
pemerintah.
Keadaan perbankan masa belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dunia perbankan, adalah :
a. Tidak adanya peraturan perundangan
yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia. Sampai akhir
tahun 1960-an hanya ada UU No. 13 tahun 1968 yang isinya tidak mengatur secara
jelas tentang perbankan di Indonesia,
lebih cenderung mempertegas kuatnya campur tangan pemerintah di dunia perbankan, yaitu tentang kedudukan bank
sentral dan dewan moneter.
b. Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) pada bank-bank tertentu KLBI diberikan bukan dalam pengertian yang baku,
yaitu untuk mengatasi kesulitan likuiditas, melainkan diberikan justru untuk
tujuan ekspansif.
c. Bank banyak menanggung program
pemerintah bank harus menjalankan kegiatan perbankan yang erat kaitannya dengan
program atau proyek pemerintah.
d. Instrumen pasar uang yang terbatas.
Instrumen yang terdapat pada pasar uang, yaitu berupa Surat Berharga Pasar
Uang(SBPU) dan belum mengenal adanya Serifikat Bank Indonesia (SBI)
e. Jumlah bank swasta yang relatif
sedikit, yaitu :
1. BRI (1951) semula bernama Algemene
Volkcrediet Bank
2.
Bank
Ekpor Impor (1968) sebagai nasionalisasi dari berbagai kegiatan Nederlandsh Handel Maatschappij di bidang lalu lintas
pembayaran internasional.
3.
Bank
Bumi Daya (1968) sebagai nasionalisasi dari sebagian kegiatan
Nederlandshe Handel Maatschappij di bidang perkebunan-perkebunan
besar.
4.
Bank
dagang Negara (1960) sebagai nasionalisasi dari kegiatan Escomptobank NV
5.
Bank
Tabungan Negara (1963) sebagai nasionalisasi dari Bank Tabungan Pos pada jaman Hindia
Belanda.
6.
BNI
(1946) didirikan pada awalnya sebagai bank sentral selama masa perjuangan
melawan agresi militer Belanda tahun 1946-1949.
7.
Bank
Pembangunan Indonesia (1960) didirikan pada awalnya untuk mendorong pembangunan
industri manufaktur, pertambangan, dan perkebunan.
Perekonomian Indonesia masih
mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan
perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU) No. 13/1968
tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967 tentang perbankan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi perubahan fundamental karena
segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia (BI) dilakukan berdasarkan
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan pemerintah. Salah satu
maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk
membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Kondisi perekonomian pada akhir
periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena faktor eksternal maupun
internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana pembangunan semakin
berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk mendorong peranan
swasta agar lebih besar. Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah
kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI
melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan
tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Pada 1983, tahap awal deregulasi
perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku
bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit
tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Tahap awal
deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank
Banyak bank, terutama bank swasta,
mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam menentukan arah perkembangan
usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat sistem pengawasan bank yang di
antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang diberi nama resmi
Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di bidang perbankan.
Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi berkecimpung dalam dunia
perbankan.
2.
Masa
Krisis (1997 – 1998)
Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 –
1998memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor
perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya
krisis. Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
1.
Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun
rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25
2.
Basel
Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standard
internasional bagi
3.
Pengawasan
bank
4.
Meningkatkan
infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross
Settlements
5.
(RTGS)
6.
Menerapkan
bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank
7.
Merekstrukturisasi
kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian
Debt Restrukturing Agency (INDRA)
8.
Melaksanakan
program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap
9. Meningkatkan persyaratan modal bagi
pendirian bank baru.
Pertumbuhan pesat yang terjadi pada
periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karena
terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan
juga lembaga‐lembaga
internasional berupaya keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan
melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400
triliun terhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7
bank lainnya. Secara spesifik langkah‐langkah yang dilakukan untuk
menanggulangi krisis keuangan dan perbankan tersebut adalah :
a. Penyediaan likuiditas kepada
perbankan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
b. Mengidentifikasi dan
merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki potensi untuk melanjutkan kegiata usahanya
dan bank‐bank yang memiliki dampak yang
signifikan terhadap kebijakannya
c. Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan
konsolidasi perbankan dengan melakukan marger
d. Mendirikan lembaga khusus untuk
menangani masalah yang ada di industri perbankan seperti Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN)
e. Memperkuat kewenangan Bank
Indonesia dalam pengawasan perbankan melalui penetapan Undang‐Undang No. 23/1999 tentang Bank
Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan.
Meskipun istilah yang digunakan
“deregulasi”, namun tidak berarti bahwa perubahan yang dilakukan sepenuhnya
berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan. Deregulasi
lebih tepat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas
moneter untuk meningkatkan dunia perbankan dan pada akhirnya juga diharapkan
akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Kebijakan deregulasi yang telah
dilakukan :
a.
Paket
1 Juni 1983 yang berisi tentang :
1. Penghapusan pagu kredit dan
pembatasan aktiva lain sebagai instrumen
pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB).
2. Pengurangan KLBI kecuali untuk
sektor-sektor tertentu.
3. Pemberian kebebasan bank untuk
menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor-sektor
tertentu.
b.
Bank
Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.
c.
Bank
Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas
diskonto oleh BI.
d.
Paket
27 Oktober 1988 yang berisi tentang : Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi
: Kemudahan pembukaan kantor bank, Kejelasan aturan pendirian bank, Bank dan
lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat
deposito dan tanpa perlu izin, Semua bank dapat meyelenggarakan
tabanas dan tabungan lain
e.
Paket
28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju
penyelenggaraan lembaga keuangan dengan
prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga keuangan.
f.
UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
g.
Paket
29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
1. CAR (Capital Adequacy Ratio)
2. Batas Maksimum Pemberian Kredit
3. Kredit Usaha Kecil
4. Pembentukan cadangan piutang
5. Loan to Deposit Ratio
3.
Pasca
Krisis
Perjalanan perekonomian Indonesia di
tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga
memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target
pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang
menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut
mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia. Meskipun dampak
dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya
berasal.
Namun ada khwatiran dari pelaku
ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari
pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa
pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak
mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis
sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di
Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang
paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street.
Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup
(suspensi) pasar dalam waktu dua hari. Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah
perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank
sudah tidak aman lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut. Banyaknya beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut. Banyaknya beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar
rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik
kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan
keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin, Bank Century,
Bank Panin, dan Bank Victoria. Dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan
nasabah dan menjaga dampak sistemik keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil
alih bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana
hingga Rp2 triliun. Kasus diambil alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi
tamparan telah bagi Bank Indonesia.
Pasalnya, sebagai bank sentral, BI
dinilai lemah dalam melakukan pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI
Drajat Wibowo mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar
rumor negatif tetapi juga tanggung jawab BI, karena gagalnya melakukan
pengawasan antar bank. Di tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar
dalam negeri, ternyata dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank
BUMN harus direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan
kreditnya. Tidak mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance
Loan (NPL), sekarang perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan
kreditnya. Hal semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang
lebih selektif memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor
perkebunan kelapa sawit.
“Kita tidak menurunkan kredit
perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan lebih selektif” kata Direktur
Risk Management Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
Kondisi perbankan di Indonesia
semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal
tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan
tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman
D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan
likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Kredit investasi juga mencatat
pertumbuhan tahunan tertinggi 42,9 persen, kredit modal kerja tumbuh 39 persen,
kredit konsumsi tumbuh 33 persen. Adapun tingkat kredit macet (Non Performing
Loan/NPL) relatif stabil 3,9 persen. Kecukupan modal perbankan (CAR) juga masih
tinggi mencapai 16 persen. Risiko kredit dan risiko pasar masih tergolong
rendah, namun berpotensi meningkat apabila pemburukan ekonomi global berlanjut.
Lebih lanjut Mulyaman memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran
4,9-5 persen, pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-20 persen di tahun 2009
mendatang. Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga
menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal
serta kinerja bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan
perbankan.
Zavadjil yang dikutip dari
keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia
secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro
ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan
moneter.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Keberhasilan menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini. Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment Program/FSAP) adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor keuangan suatu negara yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih dari 150 negara termasuk negara anggota G-20.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Keberhasilan menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini. Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment Program/FSAP) adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor keuangan suatu negara yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih dari 150 negara termasuk negara anggota G-20.
Fokus penilaian program ini yaitu
mengukur stabilitas sektor keuangan dan potensi kontribusinya bagi pertumbuhan
dan pembangunan. Penilaian IMF, katanya termasuk melakukan stress test kekuatan
perbankan Indonesia menghadapi kondisi yang paling ekstrim seperti penurunan
pertumbuhan ekonomi. Kondisi Ekonomi Perbankan Indonesia 2008-2009 Perjalanan
perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang
harus dihadapi.
Pasalnya siapa yang menduga, krisis
keuangan global terjadi di tahun itu dan akibatnya dampak tersebut mulai
dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, di mana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun 2009, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, di mana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun 2009, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford.
Musibah yang menimpa di Amerika juga
serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja
tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang
seperti Indonesia. Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan
sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar
modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak
menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa
dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup pasar dalam waktu dua hari. Hal
ini memaksa dunia perbankan Indonesia harus menghadapi tahun 2009 yang lebih
berat dan suram. Karena dampak tekanan ekonomi global terhadap pertumbuhan
ekonomi mulai dirasakan di kuartal pertama. Kredit akan semakin hati-hati
dengan likuiditas yang terbatas dan suku bunga yang mahal.
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan
tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha
dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan
rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan
global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan
negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara
maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi
dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat
ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun
depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak
mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya
lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet
sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri
otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika
juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju
saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara
berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan
sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar
modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak
menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa
dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu
dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar
modal oleh para investor asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah
membuat nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham
gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri
bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat,
krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk
sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya fundamental ekonomi di
Indonesia masih kuat dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di
masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami
ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas
yang dialami bank Century menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan
sektor perbankan. Maklum saja lembaga perbankan sangat sensitif dengan kabar
dan rumor tersebut.
Banyaknya beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor
perbankan dan akhirnya membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap
penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas,
Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan
nasional ini dengan menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang
isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha
Internasional, Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga
dampak sistemik keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century
melalui Lembaga Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun.
Kasus diambil alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi
Bank Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam
melakukan pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo
mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif
tetapi juga tanggung jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam
negeri, ternyata dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN
harus direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya.
Tidak mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL),
sekarang perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI)
yang lebih selektif memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya
disektor perkebunan kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk
sektor perkebunan, tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management
Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara
tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi,
sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi
ekonomi dan ancaman lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat
kebijakan Bank Indonesia tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence
Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan,
kendatipun BI sudah mengundurkan target penerapan peraturan tersebut dari
semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
Reference :
http://tsetyaernawati.wordpress.com
http://lovelycimutz.wordpress.comhttp://silvaanggraeni17.blogspot.co.id/2015/01/perkembangan-perbankan-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar